Pages

Rabu, 24 Juni 2015

Review: 1 Perempuan 14 Laki-Laki


Judul: 1 Perempuan 14 Laki-Laki
Penulis: Djenar Maesa Ayu, Agus Noor, Arya Yudistira Syuman, Butet Kertaredjasa, Enrico Soekarno, Indra Herlambang, JRX, Lukman Sardi, Mudji Sutrisno, Nugroho Suksmanto, Richard Oh, Robertus Robet, Sardono W. Kusumo, Sujiwo Tejo, dan Totot Indrarto
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Juni 2011 (Cetakan IV)
Harga: Rp.20.000,- (Buku GPU Obral)
ISBN: 978-979-22-6608-5

Seusai membaca buku kumpulan cerpen yang terkesan kontroversial ini, saya berpikir buku ini sangat jauh bila dibandingkan dengan buku-buku Djenar lain yang pernah saya baca sebelumnya, yakni: Mereka Bilang, Saya Monyet!, Cerita Pendek Tentang Cerita Cinta Pendek, dan T(w)ITIT.

Dan saya setuju dengan salah satu review di Goodreads bahwa saya menjadi lebih fokus ke 'mana tulisan Djenar dan mana tulisan penulis lain, ya?' karena dalam pengantar buku ini diceritakan bahwa buku ini lahir dari satu kalimat Djenar dan satu kalimat penulis lain di setiap cerita pendek.

Intinya, saya lebih menyukai, menikmati, dan memahami cerita-cerita Djenar jika ia menulis sendiri, walaupun bahasanya lebih vulgar. Tapi menurut saya, Djenar Maesa Ayu adalah penulis yang kerap mengangkat cerita-cerita yang tabu namun tetap terdapat pesan di dalamnya, yang dalam buku 1 Perempuan 14 Laki-Laki ini, saya tak menemukan pesan-pesan seperti itu sama sekali.



Kamis, 18 Juni 2015

Review: Hujan Bulan Juni


Judul: Hujan Bulan Juni
Penulis: Sapardi Djoko Damono
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Juni 2015
Halaman: 144
Harga: Rp.50.000
ISBN: 978-602-03-1843-1

Bulan Juni dan Sapardi seakan tak dapat dipisahkan. Setelah menulis puisi berjudul Hujan Bulan Juni, ia menerbitkan sebuah novel yang berjudul sama, namun menurutnya cerita dalam novel ini tak ada kaitannya dengan puisi tersebut.

***

Novel ini menceritakan kisah cinta antara Sarwono, dosen muda Antropologi UGM yang digambarkan kurus kering dan sering batuk-batuk, dengan Pingkan, dosen muda Sastra Jepang UGM.

Pingkan yang berdarah Jawa-Menado--tak mau disebut sebagai Menado, namun juga tak pantas disebut sebagai Jawa--, sering meledek Sarwono yang Jawa tulen dengan sebutan 'Jawa Zadul'. Kisah cinta mereka memang unik, tidak mengumbar-umbar kata-kata romantis, malah lebih sering mengejek satu sama lain.

Namun, keharmonisan mereka berdua terhalang oleh hal yang sulit untuk membuat hubungan mereka maju, yakni agama. Walaupun mereka terlihat seperti tidak ambil pusing akan hal itu, namun pihak keluarga besar Pingkan dari Menado lah, yang seakan protes dengan keputusan Pingkan memacari lelaki Jawa seperti Sarwono.

Suatu ketika, Pingkan ditugaskan berangkat ke Jepang oleh fakultasnya. Pingkan sebenarnya sangat ingin Sarwono ikut ke Jepang bersamanya, namun Sarwono berpikir hal itu sangat tak mungkin untuk dilakukannya. Untuk saling meredam rasa rindu pun, mereka berdua kerap berkirim WA. Sampai suatu hari, Sarwono tidak membalas-balas WA Pingkan. 

***

Sebenarnya novel ini sangat smooth jalan ceritanya walaupun alurnya bukan alur maju, dan cerita novel ini nggak kayak sinetron-sinetron, kok. Itu saya dramatisir aja sinopsisnya hahaha...

Buat para pencinta Sapardi, novel ini sangat layak untuk dimiliki, sih. Namun untuk opini saya sendiri, saya amat sangat nggak suka sama endingnya yang gantung! Jadi, jangan harap kalian bakal menemukan akhir yang bahagia atau akhir yang sedih. 

Kesimpulannya adalah, saya lebih menyukai sajak-sajak Sapardi ketimbang cerita-cerita pendeknya maupun novelnya sejauh ini. Tapi saya masih penasaran dengan Trilogi Soekram, sih.

Kamis, 11 Juni 2015

Review: Pada Suatu Hari Nanti & Malam Wabah


Judul: Pada Suatu Hari Nanti & Malam Wabah
Penulis: Sapardi Djoko Damono
Penerbit: Bentang Pustaka
Terbit: Juni 2013
Halaman: 200
ISBN: 978-602-7888-40-1

Hal pertama yang harus diperhatikan dari buku kumpulan cerita ini, selain nama penulisnya, adalah cover depan dan belakangnya yang mana sisi belakang yaitu 'Malam Wabah', sengaja dibalik. Hal inilah yang membuat buku ini sangat eye-catching dan mudah membuat orang yang awam akan buku sastra menjadi tertarik untuk memiliki buku ini.

'Pada Suatu Hari Nanti' memuat cerita-cerita yang asal-usulnya dongeng, kemudian diubah endingnya sesuka Sapardi. Diawali dengan cerita pendek berjudul 'Dongeng Rama-Sita' yang bercerita tentang cinta segitiga antara Rama, Sita, dan Rahwana. Lalu, salah satu dongeng yang terkenal sepanjang masa seperti Malin Kundang pun, endingnya diubah dalam cerita pendek berjudul 'Sebenar-Benar Dongeng tentang Malin Kundang yang Berjuang Melawan Takdir Agar Luput dari Kutukan Sang Ibu'.

Saya merasa seperti sedang menonton sebuah pentas di atas panggung saat membaca 'Pada Suatu Hari Nanti' ini.

Sedangkan 'Malam Wabah' berisi beberapa cerita pendek Sapardi yang mengangkat tema kehidupan dengan tokoh utama manusia maupun benda-benda di sekitar kita. Keunikkan ini dapat ditemui dalam cerita pendek berjudul 'Rumah-Rumah' dan 'Sepasang Sepatu Tua'. Selain itu, cerita pendek berjudul 'Ketika Gerimis Jatuh' dan 'Bingkisan Lebaran' entah mengapa dapat membuat saya sedih.

Jujur, banyak cerita pendek yang tidak saya pahami maksudnya dalam buku 'Pada Suatu Hari Nanti & Malam Wabah' ini. Ya, memang itulah sastra. Penulis bebas menuliskan apa saja tanpa harus menjelaskannya secara harfiah. Walaupun begitu, saya cukup menikmati buku kumpulan cerita ini dan saya rasa buku ini wajib dibaca oleh para pencinta sastra.