Pages

Selasa, 08 Desember 2015

Review: Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi


Judul: Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: Bentang Pustaka
Terbit: Maret 2015 (Cetakan I)
ISBN: 978-602-291-072-5

Buku yang memuat 15 cerpen yang ditulis oleh Eka Kurniawan dengan berbagai genre ini menurut saya ada beberapa yang bagus, namun ada juga yang biasa saja. Namun, karena saya telah membaca Cantik Itu Luka, saya merasa bahwa Eka sering menyelipkan anjing di cerita-cerita yang ditulisnya. Mungkin karena Eka menyukai anjing? Saya tak tahu pasti.

Buku ini memuat cerpen-cerpen yang berjudul:
1. Gerimis yang Sederhana
2. Gincu Ini Merah, Sayang
3. Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi
4. Penafsir Kebahagiaan
5. Membuat Senang Seekor Gajah
6. Jangan Kencing di Sini
7. Tiga Kematian Marsilam
8. Cerita Batu
9. La Cage aux Folles
10. Setiap Anjing Boleh Berbahagia
11. Kapten Bebek Hijau
12. Teka-Teki Silang
13. Membakar Api
14. Pelajaran Memelihara Burung Beo
15. Pengantar Tidur Panjang

Cerpen yang dipilih menjadi judul buku ini saya rasa kurang mengena karena menurut saya ide cerita seperti itu sudah sering dijumpai. Beberapa cerpen yang sangat saya suka yakni: Membuat Senang Seekor Gajah, Jangan Kencing di Sini, Cerita Batu, Kapten Bebek Hijau, dan Teka-Teki Silang.

Namun, ada dua cerpen yang saya tidak mengerti maksudnya apa. Yaitu: Tiga Kematian Marsilam dan La Cage aux Folles.


Review: Sabtu Bersama Bapak


Judul: Sabtu Bersama Bapak
Penulis: Adhitya Mulya
Penerbit: GagasMedia
Terbit: 2015 (Cetakan XII)
ISBN: 978-979-780-721-4

Gunawan Garnida memutuskan untuk merekam video-video yang akan ditinggalkannya untuk anak-anaknya agar anak-anaknya tetap mengenal dan merasa dekat dengannya walaupun ia tidak bisa lagi di samping mereka, karena penyakit yang dideritanya. Dibantu oleh Itje, istrinya, maka ia memulai untuk merekam video-video tentang pelajaran hidup maupun sekadar berbagi cerita untuk Satya dan Cakra, kedua anak mereka.

***

Baru membaca sampai halaman ke-13 novel ini saja saya sudah meneteskan air mata. Entah karena novel ini benar-benar menyentuh atau hanya karena saya yang terlalu sensitif? Kata-kata Gunawan Garnida banyak yang menginspirasi dan memberi pelajaran bukan hanya untuk anak-anaknya, tapi juga untuk para pembaca novel ini. 

Alur novel ini juga dibuat halus dan membuat saya sebagai pembaca sangat nyaman saat membaca novel ini. Speechless pokoknya, nggak bisa berkata apa-apa lagi saya. Pokoknya saya sangat merekomendasikan novel ini bagi siapa pun. Laki-laki maupun perempuan, lajang maupun akan menikah atau sudah menikah sekalipun. Karena saya merasa, pemikiran pembaca pasti akan berubah ke arah yang lebih baik setelah membaca novel ini.



Review: Maryam


Judul: Maryam
Penulis : Okky Madasari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Februari 2013 (Cetakan II)
ISBN: 978-979-22-9384-5

Maryam Hayati adalah seorang perempuan yang terlahir dari keluarga Ahmadiyah dan tinggal di daerah pesisir Lombok. Sejak kecil, Maryam harus terbiasa dengan kata 'sesat' yang ditujukan kepadanya maupun keluarganya. Hingga saat ia menempuh kuliah di Surabaya dan tinggal bersama keluarga kenalan Ayahnya yang juga Ahmadiyah, ia masih taat dan rajin mengikuti pengajian Ahmadiyah dan dijodoh-jodohkan dengan salah satu pemuda Ahmadiyah yang bernama Gamal. Saat Maryam baru merasakan apa yang dinamakan dengan jatuh cinta, ia juga harus merasakan apa yang dinamakan dengan patah hati. Karena Gamal ternyata malah membangkang dan berkata bahwa ajaran Ahmadiyah itu sesat setelah ia pergi observasi ke Banten untuk menyelesaikan kuliahnya. 

Setelah lulus kuliah, Maryam pun bekerja di Jakarta. Di sana, ia bertemu dengan seorang pemuda bernama Alam yang sangat memikat hatinya. Mereka saling mencintai dan berencana menikah. Sayangnya, Alam bukan berasal dari Ahmadiyah. Hal inilah yang membuat kedua orangtua Maryam menyuruh Maryam agar putus dengan Alam. Namun, Maryam bersikeras tidak menginginkan hal itu. Alam juga tidak mau ikut menjadi Ahmadiyah. Sehingga, akhirnya Maryam harus benar-benar meninggalkan keluarganya dan Ahmadiyah yang selama ini telah melekat di hatinya.

***

Perjalanan hidup Maryam dan keluarganya yang minoritas dan penuh dengan lika-liku membuat saya sebagai pembaca merasa terhanyut dan terbawa perasaan karena Okky Madasari mahir memainkan kata-kata dan mengolah jalan cerita dengan menarik. Sebagai sesama perempuan, saya mengerti perasaan Maryam yang ingin mempertahankan cintanya dengan Alam, namun di lain hal, harus juga mempertahankan keyakinan yang telah ia pegang sejak lahir.

Selain itu, sikap ibu mertua Maryam yang seakan selalu menyindir Maryam dengan kata 'sesat' walaupun tidak secara jelas ditujukan kepada Maryam, juga saya rasa banyak orang-orang seperti itu. Apalagi saat mengetahui bahwa Maryam belum hamil setelah beberapa tahun menikah.

Terlebih lagi, penderitaan keluarga Maryam yang diusir dari tanah yang dimilikinya sendiri hanya karena mereka kaum minoritas sangat menyentuh hati dan membuat sedih. Bagaimana bisa orang-orang bersikap kejam dan beringas terhadap sesama manusia hanya karena mereka dianggap sesat?

Namun, entah mengapa di bagian belakang novel ini, jalan ceritanya menjadi kurang menarik dan agak bertele-tele sehingga membuat saya agak bosan dan ingin cepat-cepat menyelesaikan novel ini.



Rabu, 24 Juni 2015

Review: 1 Perempuan 14 Laki-Laki


Judul: 1 Perempuan 14 Laki-Laki
Penulis: Djenar Maesa Ayu, Agus Noor, Arya Yudistira Syuman, Butet Kertaredjasa, Enrico Soekarno, Indra Herlambang, JRX, Lukman Sardi, Mudji Sutrisno, Nugroho Suksmanto, Richard Oh, Robertus Robet, Sardono W. Kusumo, Sujiwo Tejo, dan Totot Indrarto
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Juni 2011 (Cetakan IV)
Harga: Rp.20.000,- (Buku GPU Obral)
ISBN: 978-979-22-6608-5

Seusai membaca buku kumpulan cerpen yang terkesan kontroversial ini, saya berpikir buku ini sangat jauh bila dibandingkan dengan buku-buku Djenar lain yang pernah saya baca sebelumnya, yakni: Mereka Bilang, Saya Monyet!, Cerita Pendek Tentang Cerita Cinta Pendek, dan T(w)ITIT.

Dan saya setuju dengan salah satu review di Goodreads bahwa saya menjadi lebih fokus ke 'mana tulisan Djenar dan mana tulisan penulis lain, ya?' karena dalam pengantar buku ini diceritakan bahwa buku ini lahir dari satu kalimat Djenar dan satu kalimat penulis lain di setiap cerita pendek.

Intinya, saya lebih menyukai, menikmati, dan memahami cerita-cerita Djenar jika ia menulis sendiri, walaupun bahasanya lebih vulgar. Tapi menurut saya, Djenar Maesa Ayu adalah penulis yang kerap mengangkat cerita-cerita yang tabu namun tetap terdapat pesan di dalamnya, yang dalam buku 1 Perempuan 14 Laki-Laki ini, saya tak menemukan pesan-pesan seperti itu sama sekali.



Kamis, 18 Juni 2015

Review: Hujan Bulan Juni


Judul: Hujan Bulan Juni
Penulis: Sapardi Djoko Damono
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Juni 2015
Halaman: 144
Harga: Rp.50.000
ISBN: 978-602-03-1843-1

Bulan Juni dan Sapardi seakan tak dapat dipisahkan. Setelah menulis puisi berjudul Hujan Bulan Juni, ia menerbitkan sebuah novel yang berjudul sama, namun menurutnya cerita dalam novel ini tak ada kaitannya dengan puisi tersebut.

***

Novel ini menceritakan kisah cinta antara Sarwono, dosen muda Antropologi UGM yang digambarkan kurus kering dan sering batuk-batuk, dengan Pingkan, dosen muda Sastra Jepang UGM.

Pingkan yang berdarah Jawa-Menado--tak mau disebut sebagai Menado, namun juga tak pantas disebut sebagai Jawa--, sering meledek Sarwono yang Jawa tulen dengan sebutan 'Jawa Zadul'. Kisah cinta mereka memang unik, tidak mengumbar-umbar kata-kata romantis, malah lebih sering mengejek satu sama lain.

Namun, keharmonisan mereka berdua terhalang oleh hal yang sulit untuk membuat hubungan mereka maju, yakni agama. Walaupun mereka terlihat seperti tidak ambil pusing akan hal itu, namun pihak keluarga besar Pingkan dari Menado lah, yang seakan protes dengan keputusan Pingkan memacari lelaki Jawa seperti Sarwono.

Suatu ketika, Pingkan ditugaskan berangkat ke Jepang oleh fakultasnya. Pingkan sebenarnya sangat ingin Sarwono ikut ke Jepang bersamanya, namun Sarwono berpikir hal itu sangat tak mungkin untuk dilakukannya. Untuk saling meredam rasa rindu pun, mereka berdua kerap berkirim WA. Sampai suatu hari, Sarwono tidak membalas-balas WA Pingkan. 

***

Sebenarnya novel ini sangat smooth jalan ceritanya walaupun alurnya bukan alur maju, dan cerita novel ini nggak kayak sinetron-sinetron, kok. Itu saya dramatisir aja sinopsisnya hahaha...

Buat para pencinta Sapardi, novel ini sangat layak untuk dimiliki, sih. Namun untuk opini saya sendiri, saya amat sangat nggak suka sama endingnya yang gantung! Jadi, jangan harap kalian bakal menemukan akhir yang bahagia atau akhir yang sedih. 

Kesimpulannya adalah, saya lebih menyukai sajak-sajak Sapardi ketimbang cerita-cerita pendeknya maupun novelnya sejauh ini. Tapi saya masih penasaran dengan Trilogi Soekram, sih.

Kamis, 11 Juni 2015

Review: Pada Suatu Hari Nanti & Malam Wabah


Judul: Pada Suatu Hari Nanti & Malam Wabah
Penulis: Sapardi Djoko Damono
Penerbit: Bentang Pustaka
Terbit: Juni 2013
Halaman: 200
ISBN: 978-602-7888-40-1

Hal pertama yang harus diperhatikan dari buku kumpulan cerita ini, selain nama penulisnya, adalah cover depan dan belakangnya yang mana sisi belakang yaitu 'Malam Wabah', sengaja dibalik. Hal inilah yang membuat buku ini sangat eye-catching dan mudah membuat orang yang awam akan buku sastra menjadi tertarik untuk memiliki buku ini.

'Pada Suatu Hari Nanti' memuat cerita-cerita yang asal-usulnya dongeng, kemudian diubah endingnya sesuka Sapardi. Diawali dengan cerita pendek berjudul 'Dongeng Rama-Sita' yang bercerita tentang cinta segitiga antara Rama, Sita, dan Rahwana. Lalu, salah satu dongeng yang terkenal sepanjang masa seperti Malin Kundang pun, endingnya diubah dalam cerita pendek berjudul 'Sebenar-Benar Dongeng tentang Malin Kundang yang Berjuang Melawan Takdir Agar Luput dari Kutukan Sang Ibu'.

Saya merasa seperti sedang menonton sebuah pentas di atas panggung saat membaca 'Pada Suatu Hari Nanti' ini.

Sedangkan 'Malam Wabah' berisi beberapa cerita pendek Sapardi yang mengangkat tema kehidupan dengan tokoh utama manusia maupun benda-benda di sekitar kita. Keunikkan ini dapat ditemui dalam cerita pendek berjudul 'Rumah-Rumah' dan 'Sepasang Sepatu Tua'. Selain itu, cerita pendek berjudul 'Ketika Gerimis Jatuh' dan 'Bingkisan Lebaran' entah mengapa dapat membuat saya sedih.

Jujur, banyak cerita pendek yang tidak saya pahami maksudnya dalam buku 'Pada Suatu Hari Nanti & Malam Wabah' ini. Ya, memang itulah sastra. Penulis bebas menuliskan apa saja tanpa harus menjelaskannya secara harfiah. Walaupun begitu, saya cukup menikmati buku kumpulan cerita ini dan saya rasa buku ini wajib dibaca oleh para pencinta sastra.


Sabtu, 31 Januari 2015

Review: Tabula Rasa dan Tebak Secret Santa

Judul : Tabula Rasa
Pengarang : Ratih Kumala
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : September 2014 (Cetakan I edisi cover baru)
Halaman : 192
Harga : Rp. 58.000,-
ISBN : 978-602-03-0946-0

Pada awal novel ini, kita akan dibawa kembali ke tahun 1990 saat Galih masih kuliah di Moskwa dan jatuh cinta pada gadis berkewarganegaraan tersebut bernama Krasnaya yang suka melukis. Hari-hari Galih di Moskwa semakin berwarna sejak hadirnya Krasnaya. Sayangnya, saat itu Moskwa mengalami gonjang-ganjing sehingga negara tersebut memulangkan orang-orang yang bukan warga negaranya, termasuk Galih. Mereka berdua pun terpisah.

Lalu, kita dibawa menyelami pikiran Raras melalui sudut pandangnya. Dulu, Raras mempunyai seorang sahabat perempuan bernama Violet, atau biasa ia panggil Vi. Sayangnya, Vi adalah pecandu narkoba dan sempat mendekam di pusat rehabilitasi. Raras selalu menemani Vi dan menyemangati Vi agar ia bisa sembuh.

Pada tahun 2001, Galih dan Raras bertemu dan mereka saling jatuh cinta walaupun Galih adalah dosen Raras, walaupun ia tak pernah mengajarnya secara langsung.


Ratih Kumala mengemas novel sastra yang terbit pertama kali tahun 2004 ini dengan sangat apik. Apalagi dengan latar di Moskwa yang saat itu sedang berbahaya, topik utama cinta yang dibumbui oleh realitas kehidupan ditulis dengan sangat apik. Membaca novel ini awalnya mungkin agak terasa seperti teenlit, namun setelah kita menggali lebih dalam, Ratih mengangkat tema yang cerdas. Tak heran, novel ini mendapat nomor kemenangan di Sayembara Menulis Novel 2003 yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta. Budi Darma, Maman S. Mahayana, dan Puthut EA juga turut memberikan pujian di cover belakang novel ini. Hanya, agak terganggu dengan terjemahan yang tidak perlu seperti, “Still wanna see that old grandpa there or not? Masih mau lihat ‘kakek’ nggak?” (Hal. 4)

TEBAK SECRET SANTAA!


Sebelumnya, aku ingin mengucapkan mohon maaf yang sebenar-benarnya karena baru review sekarang. Hiks.. hiks... Udah lama postingnya, dan aku benar-benar nggak tahu siapa Santa-ku yang baik hati :( huhuhu... Maafkan aku ya, Santakuu

Rabu, 07 Januari 2015

Review: Looking for Alaska (Mencari Alaska)

Judul : Looking for Alaska (Mencari Alaska)
Pengarang : John Green
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : 2014 (Cetakan I)
Halaman : 286
Harga : Rp.55.000,-
ISBN : 978-602-03-0732-9

Miles Halter yang tidak punya teman akhirnya memutuskan untuk pindah ke sekolah asrama Culver Creek di Alabama dan meninggalkan kedua orangtuanya di Florida. Ia sekamar dengan seseorang yang bernama Chip Martin, namun biasa dipanggil Kolonel, yang memberikan julukan Pudge untuk Miles. Dari Kolonel, Pudge dikenalkan dengan Alaska, seorang anak perempuan yang nyentrik, lucu, pintar, dan memikat. Selain Alaska, ada juga Takumi. Mereka berempat selalu bersekongkol untuk melakukan kejahilan-kejahilan atau melanggar peraturan.

Hidup Pudge yang tadinya amat membosankan, menjadi sangat gila dan tak pernah ia dapat bayangkan sebelumnya.

Membaca novel konyol ini akan membuat kita banyak tersenyum dan bahkan tertawa. Sosok Pudge digambarkan sangat kuat karena ia mempunyai satu sifat yang unik, yaitu hapal setiap kalimat terakhir dari orang-orang terkenal di dunia. Begitu juga dengan Alaska yang ceplas-ceplos dan jalan pikirannya selalu out of the box.

Ending novel ini cukup mengejutkan dan sangat cerdas. John Green selalu dapat membuat kagum mulai dari The Fault in Our Stars, An Abundance of Katherines, dan saat ini saya sedang menunggu Paper Towns.